Dalam beberapa tahun terakhir, industri digital dan startup di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat, tetapi juga menghadapi tantangan besar. Salah satu fenomena yang muncul adalah perusahaan yang tetap aktif memposting lowongan pekerjaan meskipun sedang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Di tengah gelombang PHK, banyak perusahaan di sektor ini justru terlihat terus mencari kandidat di platform seperti LinkedIn. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai motif di balik tindakan tersebut, dan apakah lowongan kerja yang diposting benar-benar mencerminkan kebutuhan perusahaan atau hanya sekadar pencitraan.
“Kita bahas krisis head digital (di Linkedin). Fenomena apakah yang sedang terjadi?” kata salah seorang anggota komunitas digital di grup Whatsapp, menanyakan banyak postingan lowongan Head Digital di Linkedin. “Ini kayanya posting doang tapi apply ga ada di respon2” yang lain menimpali. “posting doang ini kayanya om. di market sebenernya orang lagi banyak karna kena layoff” ujar lainnya.
PHK di industri startup Indonesia telah menjadi berita besar sejak tahun 2022. Beberapa perusahaan besar seperti Tokopedia, Gojek, dan Ruangguru terpaksa mengurangi jumlah karyawan mereka akibat tekanan ekonomi global dan perubahan iklim investasi. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan pendanaan yang sempat melonjak pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, Gojek dilaporkan merumahkan 430 karyawan pada tahun 2020, sementara startup lain seperti Zenius memberhentikan lebih dari 200 karyawan pada tahun 2022. Meskipun banyak perusahaan menghadapi krisis keuangan, mereka tetap aktif mengiklankan lowongan pekerjaan, yang memicu spekulasi bahwa tindakan tersebut lebih bersifat menjaga citra daripada kebutuhan operasional nyata.
Salah satu platform yang sering digunakan oleh perusahaan untuk memposting lowongan adalah LinkedIn. Banyak perusahaan startup tetap terlihat aktif merekrut, meskipun berita PHK beredar luas. Bahkan, jumlah lowongan yang diposting di platform tersebut tetap tinggi, menciptakan kesan bahwa perusahaan berada dalam kondisi stabil dan berkembang. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia; di tingkat global, perusahaan teknologi besar seperti Meta dan Twitter juga pernah menghadapi kritik serupa, di mana mereka memposting lowongan meskipun sedang dalam proses PHK besar-besaran.
Namun, hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pencari kerja. Banyak pelamar yang merasa proses rekrutmen tidak transparan. Mereka melaporkan bahwa meskipun telah melamar berkali-kali, mereka tidak mendapatkan tanggapan atau bahkan merasa proses seleksi tidak berjalan. Kritik ini sering muncul di media sosial, dengan banyak kandidat menyuarakan ketidakpuasan atas perusahaan yang terlihat tidak serius dalam proses rekrutmen, meskipun terus memposting lowongan.
Survei yang dilakukan oleh Jobplanet pada tahun 2023 memperkuat anggapan tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa 41% kandidat merasa tidak mendapatkan feedback yang jelas setelah melamar ke perusahaan startup, sementara 34% merasa bahwa lowongan yang diposting hanya formalitas tanpa ada proses rekrutmen yang nyata. Kondisi ini menciptakan kesan bahwa banyak lowongan hanya digunakan sebagai alat pencitraan untuk menjaga reputasi perusahaan di mata publik dan investor.
Investor memainkan peran penting dalam situasi ini. Startup yang mendapatkan suntikan dana dari venture capital sering kali tertekan untuk terus memperlihatkan citra positif di mata investor, meskipun kondisi finansial mereka tidak stabil. Ekspektasi investor untuk melihat perusahaan tetap tumbuh dan mampu menarik talenta terbaik mendorong perusahaan untuk tetap memposting lowongan pekerjaan, meskipun mereka tidak benar-benar berniat merekrut dalam waktu dekat.
Dalam konteks ini, LinkedIn dan platform sejenis lebih sering digunakan sebagai alat branding ketimbang sarana rekrutmen aktif. Perusahaan berusaha menunjukkan bahwa mereka tetap relevan dan menarik bagi talenta-talenta unggul, meskipun di belakang layar, mereka sedang menghadapi tantangan internal yang serius.
Fenomena ini, jika terus berlangsung, dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan. Kepercayaan pencari kerja terhadap startup akan menurun, dan perusahaan akan semakin sulit menarik talenta berkualitas jika dianggap hanya berfokus pada pencitraan. Pada akhirnya, perusahaan yang terlalu terobsesi dengan menjaga citra positif di mata publik mungkin akan menghadapi tantangan lebih besar di masa depan ketika kepercayaan publik mulai luntur.
Dengan kondisi ini, industri startup di Indonesia menghadapi dilema antara menjaga citra dan transparansi operasional. Sementara memposting lowongan pekerjaan bisa menjadi alat untuk menjaga reputasi perusahaan di mata investor dan publik, perusahaan perlu lebih berhati-hati agar tidak kehilangan kepercayaan dari para kandidat yang merupakan aset berharga untuk pertumbuhan mereka. Transparansi dan kejujuran dalam proses rekrutmen menjadi kunci penting untuk menjaga hubungan baik antara perusahaan, kandidat, dan publik.